Di tanah tempat tali pusat ditanam, seharusnya anak negeri menjadi tuan. Namun, kenyataan hari ini masih memperlihatkan ironi yang menyesakkan dada: banyak anak Melayu yang hanya jadi penonton di negeri sendiri. Mereka menyaksikan orang lain berjaya, memegang kuasa, menikmati hasil, sementara mereka sendiri terpinggir dan tertinggal.
Kita tidak menyoal keberadaan orang luar—selama mereka datang dengan adab, ikut serta membangun, dan tidak menindas hak masyarakat tempatan. Tapi yang menjadi soal adalah ketika anak negeri tak diberi tempat dalam pembangunan, tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bahkan disingkirkan dari hak-hak dasar seperti pekerjaan, pendidikan, dan ruang berusaha.
Dumai, negeri bertuah, kaya akan sumber daya. Tapi lihatlah, dari sektor industri hingga pelayanan publik, masih banyak posisi strategis yang tak terjamah oleh anak jati Melayu. Apa yang salah? Apakah kita kurang pintar? Tidak. Apakah kita kurang mampu? Sama sekali tidak. Yang kurang adalah keberpihakan.
Sudah saatnya instansi pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga publik menata ulang komitmen mereka kepada masyarakat tempatan. Beri ruang kepada pemuda Melayu untuk berkembang. Libatkan mereka dalam perencanaan pembangunan. Ajak mereka menjadi pelaku, bukan penonton.
Dan kepada anak Melayu sendiri, janganlah hanya menunggu diberi. Mari kita rebut ruang-ruang itu dengan ilmu, dengan kompetensi, dan dengan marwah. Jangan malas belajar, jangan segan bersuara. Bangkitlah dengan semangat dan harga diri.
0 Comments